Senin, 27 April 2015

Jaringan Ulama Asia dan Pentingnya Pemetaan Dakwah

Agar peran ulama dapat maksimal penting menganalisa masalah keumatan, lalu pemetaan, dan penyusunan target
Oleh: Ilham Kadir
KEDUDUKAN ilmu dalam agama Islam sangat istimewa, karena segenap sendi kehidupan umat manusia tidak akan bergerak tanpa ilmu. Bahkan Allah mengutus para nabi untuk mengajarkan ilmu kepada para kaumnya. Dan jika menarik tali sejarah jauh ke belakang, tepatnya ketika Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, dan terjadi perdebatan sengit antara malaikat dan Allah yang telah menyampaikan pemberitahuan bahwa Dia akan menciptakan makhluk bernama manusia.
Malaikat tidak setuju, karena dikhawatirkan jika makhluk yang kemudian disebut ‘manusia’ itu tercipta, hanya akan mengerjakan kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah. Namun Allah selaku pencipta manusia, malaikat, langit dan segenap isinya Maha Tahu, bahwa selain mendatangkan keburukan sebagaimana dikhawatirkan para malaikat, manusia juga adalah jenis makhluk yang akan membawa kemaslahatan, dengan syarat ia harus berilmu.
Singkat kata, manusia pertama diciptakan, namanya Adam, langsung dibekali dengan ilmu, dan menjadi guru kepada para malaikat. Lalu, para murid Nabi Adam itu, diperintahkan oleh Allah untuk bersujud pada gurunya sebagai tanda penghormatan dan pernghargaan akan ketinggian ilmunya. Semua bersujud, kecuali iblis yang enggan bahkan sombong, angkuh bin takabbur (aba wastakbara). Karena menentang perintah Allah dan menantang Nabi Adam, maka iblis pun dikutuk hingga hari kiamat, dan kelak akan dijebloskan ke penjara neraka untuk selamanya. Kisah ini, diulang-ulang dalam Al-Qur’an, misalnya Al-Baqarah: 30-38. Setelah Nabi Adam wafat, dan keturunnya kian hari kian bertambah dan bertaburan, maka Allah kembali mengutus rasul demi rasul untuk mengajak dan mengajar kepada kaumnya tatacara hidup dan beribadah dengan baik dan benar yang berlandaskan ilmu.
Hingga rasul pamungkas tiba yaitu, Muhammad SAW yang membawa ajaran dan agama Islam yang tertuang dalam wahyu, berupa Al-Qur’an dan hadis.
Jika umat-umat terdahulu, selalu dimanjakan dengan diutusnya para nabi dan rasul, maka, umat Nabi Muhammad tidak demikian. Setelah sang Rasul pamungkas tutup usia, ajarannya harus terus terjaga dengan adanya kitab wahyu dan manusia-manusia yang mengabdi dan mewakafkan diri untuk mempelajari, mengamalkan, dan mengajarkan warisan Rasulullah tersebut: Al-Qur’an dan hadis. Golongan inilah yang disebut “ulama”.
Jika umat terdahulu, nabinya wafat, maka ilmu pun ikut tercabut. Tapi, bagi umat Islam, ketika Nabi wafat ilmu tetap terjaga di kalangan para ulama. Namun perlu dicatat, ulama tidaklah wujud sebagaimana wujudnya para nabi dan rasul yang diutus langsung oleh Allah. Menjadi ulama adalah sebuah proses yang berliku dan penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Karena itu, Allah sangat mengapresiasi golongan manusia yang berangkat berjuang demi meraih ilmu agar dapat menjadi ulama.
Dari Abu Darda’ sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi, Nabi bersabda, Barangsiapa melalui suatu jalan yang di dalamnya terdapat ilmu, maka Allah akan membukakan jalan menuju surga. Dan sungguh, para malaikat meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai bentuk keridhahannya atas apa yang diperbuat, dan seluruh penduduk langit dan bumi meminta ampun bagi orang yang berilmu. Bahkan ikan-ikan di air melakukan hal yang sama, dan keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham [uang] mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.
Peran Ulama di era globalisasi dan penuh dengan tantangan, peran strategis ulama sangat dibutuhkan. Betapa tidak, informasi yang telah menggelobal menjadikan manusia modern hidup tanpa sekat. Apa yang terjadi di belahan Barat nun jauh di sana, dengan mudah dapat disaksikan dimana pun. Bahkan ragam ideologi lintas organisasi, agama, dan bangsa dengan mudah terpasarkan.
Masalah kemudian muncul, bahwa apa yang terjadi di Barat dalam artian bukan sekadar arah mata angin tetapi meliputi segala sendi, termasuk ideologi, budaya, ekonomi, dan tatanan hidupnya, banyak yang tidak sesuai bahkan berbenturan dengan apa yang ada di belahan Timur yang kental dengan nuansa religi, dalam hal ini Islam sebagai agama dominan. Globalisasi akan mendudukkan Barat yang dalam Istilah Huntington “The Clash of Civilization”atau benturan peradaban.
Ulama harus mengambil peran, khusunya dalam ranah pengajaran dan penyadaran ‘tarbiyah wa tauiyyah’ kepada umat agar ke dalam menyadari pentingnya memperkuat landasan agama terutama akidah sedangkan ke luar melawan segala bentuk gelombang globalisasi yang berbenturan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Peta Perjuangan
Agar peran ulama dapat maksimal dan tertata rapi, maka hal penting yang harus dilakukan adalah menganalisa masalah keumatan, lalu pemetaan, dan penyusunan target agar dapat mencapai tujuan dan sasaran secara tepat.
Selama ini, para ulama masih jalan sendiri-sendiri dan hasilnya pun dinikmati sendiri-sendiri. Masih sama-sama bekerja, belum ada kerjasama yang solid. Dapat disaksikan sekarang, umat ibarat anak ayam kehilangan induk yang para induk sibuk mengurus diri sendiri.
Adanya kesadaran bersama di waktu yang sama, dan geografi tertentu, akan melahirkan kesolidan antarsesama sehingga program-program pemberdayaan umat akan terlaksana secara rapi dan terorganisir. Kebatilan saja, jika dikoordinir dengan baik akan mengalahkan kebenaran yang kocar-kacir, al-haqqu bila nizham yaghlibuhul al-bathil bin-nizham.
Saat ini, pimpinan umum Wahdah Islamiyah (WI) yang berpusat di Makassar, bersama sejumlah tokoh Islam dalam negeri dan manca negara menginisiasi pembentukan Ikatan Ulama dan Duat Se-Asia Tenggara/ Rabithah Ulama wa Du’at Janub Syarqi Asia.
Pembentukan Ikatan ini dimaksudkan sebagai wadah konsolidasi dan koordinasi antar ulama dan duat se- ASEAN, yang akan diawali dengan Deklarasi dan Muktamar I, pada Sabtu (28-29/11/2014) di Depok Jawa Barat.
Deklarasi sekaligus Muktamar Ikatan Ulama dan Duat se-Asia Tenggara ini untuk menegaskan eksistensi keteladanan ulama Islam serta sebagai wadah konsolidasi para ulama dan Duat. Dipertegas dengan seminar internasional dengan tema, Membangun Peradaban Asia Tenggara dengan Prinsip Moderat Islam (al-Wasatiyyah).
Kita sangat berharap, agar para ulama memiliki andil dalam membangun umat dan bangsa. Menjadi pionner dalam mereduksi kebatilan dan menegakkan kebenaran, termasuk menjadi rujukan para pemimpin dalam membuat keputusan. Ulama jenis inilah yang disebut suluh penerang dalam kegelapan.
Mari kita renungkan perkataan Imam Al-Gazali, Fasadul umara bifasadil ulama. Rusaknya para pemimpin dimulai dengan kerusakan para ulama. Jika para ulama berlomba-lomba ke kota untuk menjilat kekuasaan demi menumpuk-numpuk harta, di saat yang sama para penyesat umat dari pendeta dan golongan sesat berbondong-bondong ke kampung untuk menyesatkan umat, maka kehancuran hanya menunggu waktu. Wallahu A’lam!
Pengurus KPPSI Pusat/ Ketua Lembaga Penelitian MIUMI Sulsel

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !
Topik: 

Minggu, 26 April 2015

Tim Posdai Sampaikan Keutamaan Dakwah di STIE TAZKIA

Hidayatullah.com–Dakwah adalah aktifitas yang mulia, utama, dan tak ada matinya. Sebab, sejatinya, inilah pekerjaan prioritas yang hendaknya dilakukan oleh umat Islam. Yakni aktifitas mentransformasikan nilai dan ajaran Islam kepada segenap umat manusia agar mereka menemukan kebenaran dan mendapatkan pencerahan.
Demikianlah benang merah dari penyampaian materi yang disampaikan oleh tim Posdai saat mengisi acara Training for Trainers: Change Maker Da’i “Peace for Sentul City” yang digelar di Kampus Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia (STIE TAZKIA), Sentul, Bogor, Rabu (24/12/2014).
Acara ini digelar oleh STEI Tazkia bekerjasama dengan Posdai Hidayatullah dan Abqory Super Youth Tazkia @asy_EO guna untuk membekali mahasiswa dan juga masyarakat umum tentang keutamaan menjadi dai dan kemuliaan dakwah.
Pada kesempatan kegiatan yang dihadiri puluhan peserta berlangsung di Gedung Al Hambra tersebut, Posdai Hidayatullah mendapatkan kesempatan mengisi acara sepenuhnya dengan menghadirkan 3 orang narasumber. Mereka adalah Ustadz Asep Supriatna yang membawakan materi Prinsip Dasar Dakwah, Ustadz Agung Trana Jayal Lc, yang memaparkan materi Fiqih Ikhtilaf, dan Ustadz Samani Raharjo yang mengulas masalah missionari, kristenisasi, dan kiat-kiat mengadapi dan pencegahannya.
Ustadz Asep dalam pemaparannya, menjelaskan bahwa dalam setiap dakwah yang dilakukannya, Rasulullah mempunyai konsep baku mengenai prinsip dan metodenya. Sehingga, terangnya, dakwah tidak boleh dilakukan serampangan apalagi langsung frontal. Setiap dai harus memahami prinsip dasar ini.
Mengutip Surah Al Qur’an pada ayat 159 surah Ali Imron, Ustadz Asep mengingatkan setidaknya seorang dai harus memiliki 3 prinsip dasar dalam melakukan dakwah sebagaimana diperintahan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Mengacu dari ayat metode dasar dakwah di atas, maka, terang Asep, hendaknya para dai harus memahami tiga hal yang menjadi prinsip dan metode yang ditempuh Nabi dalam berdakwah, yaitu kelemahlembutan, pemaaf, dan bermusyawarah.
“Prinsip dasar ini hendaknya menjadi acuan utama kita dalam membina umat dan melakukan dakwah kepada level tertentu di masyarakat kita. Kedepankan kasih sayang, kesantunan, dan kelapangan hati,” pesannya.
Pada sesi lainnya, Ustadz Agung Trana Jaya yang menyampaikan tema Fiqih Ikhtilath, melontarkan pentingnya memahami fiqih dakwah dan ikhtilath ini.
Kata beliau, fiqih iklhlitah adalag sebuah metode untuk memahami berbagai perbedaan fiqh yang terdapat di masyarakat. Dengab memahami fiqih ikhtilkaf, seorang dai dapat melakukan pendektan dakwah di tengah masyarakat sehingga dakwahnya bisa diterima.
Diterangkan Ustadz Agung, tidak saja dai yang butuh memahami fiqih ikhtilaf ini namun sebaiknya ummat Islam hendaknya memahami perbedaan pendapat yang muncul agar perbedaan yang bersifat khilafiah tak melulu melahirkan perselisihan.
Karenanya, ia juga mengingatkan bahwa untuk menjadi seorang dai harus memahami betul fiqih ikhtilaf agar benar-benar dapat menjalankan fungsi dengan semestinya. Sebab, sasaran kerja para dai dan aktivis Islam adalah persatuan, kekompakan, kerapihan, dan kekokohan barisan umat Islam.
“Untuk itu, mari kita berbesar hati selalu dalam melihat perbedaan yang ada dalam umat ini selama itu tidak keluar dari koridor Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah,” tukasnya.
Sementara itu Samani yang mengisi tema tentang gerakan missionaris dan kristenisasi di penghujung sesi, memaparkan fakta-fakta gerakan missionaris yang menyasar umat Islam, khususnya kalangan awam, miskin, dan terpencil.
Samani mengungkapkan, sejatinya telah ada sejak lama peraturan yang melarang penyiaran agama kepada warga negara Indonesia yang telah beragama sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Agama nomor 70 tahun 1978. Namun rupanya peraturan ini tak indahkan oleh penganut agama tertentu.
Salah satu contohnya, Samani menyodorkan fakta terbaru bagaimana gencarnya aksi missionaris yang menyasar umat Islam ini. Yakni aksi lapangan yang dilakukan oleh penganut agama tertentu dalam sebuah Car Free Day di jantung pusat kota Jakarta. Seorang ibu yang jelas-jelas berjilbab “dipaksa” untuk membenarkan keimanan mereka. Aksi ini terekam sangat jelas oleh kamera wartawan.
“Kita tidak bisa lagi diam, kita harus bangun dan sadar bahwa aksi missionaris yang menyasar saudara-saudara muslim kita terus berlangsung. Tentu kita tidak rela mereka dimurtadkan hanya karena kurangnya perhatian kita,” imbuhnya.
Karenanya, Samani meminta dukungan peserta yang hadir untuk aktif berdakwah di mana saja dalam membimbing serta membina masyarakat Muslim yang masih awam dengan agama mereka. Jika itu tidak mampu juga dilakukan, maka berikanlah dukungan kepada para dai yang tengah berjibaku dengan para missionaris yang umumnya berfasilitas lengkap lagi elit.
“Sesibuk apapun, mari terus berdakwah tanpa harus ke medan dakwah. Mari kita membersamai kerja mulia para dai di medan dakwah dengan doa kita, cinta kita, dan tentu, donasi kita,” tukas Samani seraya memungkasi pemaparannya.*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Sabtu, 25 April 2015

Anak Hafal Al Fatihah, Abu Hanifah Beri Guru Ngaji 1000 Dirham

IMAM Abu Hanifah mengundang seorang guru untuk mengajari putranya menghafal Al Qur`an. Maka tatkala sang putra berhasil menghafal Al Fatihah Imam Abu Hanifah memberikan kepada guru itu 1000 dirham.
“Anda menganggap sepele apa yang telah Anda ajarkan kepada anak saya, kalau seandainya aku memiliki lebih banyak dari itu maka aku akan memberikan kepada Anda sebagai bentuk pengagungan saya terhadap Al Qur`an”, kata Imam Abu Hanifah.
“Saya belum melakukan apa-apa, sehingga Anda perlu memberikan harta ini”, jawab sang guru takjub. (Manaqib Al Imam Al Adzam li Al Qurdi, 1/253)
Rep: Sholah Salim
Editor: Cholis Akbar
Dikutip dari : hidayatullah.com

Jumat, 24 April 2015

Jangan Remehkan Dakwah Kepada Anak

ilustrasi
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
JANGAN remehkan dakwah kepada anak-anak! Jika telah terikat hatinya dengan Islam, mereka akan mudah bersungguh-sungguh menetapi agama ini setelah dewasa. Jika engkau gembleng mereka untuk siap menghadapi kesulitan, maka kelak mereka tak mudah ambruk hanya karena langkah mereka terhalang oleh kendala-kendala yang menghadang. Tetapi jika engkau salah membekali, mereka akan menjadi beban bagi ummat ini di masa yang akan datang. Cemerlangnya otak sama sekali tidak memberi keuntungan jika hati telah beku dan kesediaan untuk berpayah-payah telah runtuh.
Maka, ketika engkau mengurusi anak-anak di sekolah, ingatlah sejenak. Tugas utamamu bukan sekedar mengajari mereka berhitung. Bukan! Engkau sedang berdakwah. Sedang mempersiapkan generasi yang akan mengurusi umat ini 30 tahun mendatang. Dan ini pekerjaan sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan berusaha, niat yang lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti.
Karenanya, jangan pernah main-main dalam urusan ini. Apa pun yang engkau lakukan terhadap mereka di kelas, ingatlah akibatnya bagi dakwah ini 30 40 tahun yang akan datang. Jika mereka engkau ajari curang dalam mengerjakan soal saja, sesungguhnya urusannya bukan hanya soal bagaimana agar mereka lulus ujian. Bukan. Yang terjadi justru sebaliknya, masa depan umat sedang engkau pertaruhkan!!! Tidakkah engkau ingat bahwa induk segala dusta adalah ringannya lisan untuk berdusta dan tiadanya beban pada jiwa untuk melakukan kebohongan.
Maka, ketika mutu pendidikan anak-anak kita sangat menyedihkan, urusannya bukan sekedar masa depan sekolahmu. Bukan. Sekolah ambruk bukan berita paling menyedihkan, meskipun ini sama sekali tidak kita inginkan. Yang amat perlu kita khawatiri justru lemahnya generasi yang bertanggung-jawab menegakkan dien ini 30 tahun mendatang. Apa yang akan terjadi pada umat ini jika anak-anak kita tak memiliki kecakapan berpikir, kesungguhan berjuang dan ketulusan dalam beramal?
Maka…, ketika engkau bersibuk dengan cara instant agar mereka tampak mengesankan, sungguh urusannya bukan untuk tepuk tangan saat ini. Bukan pula demi piala-piala yang tersusun rapi. Urusannya adalah tentang rapuhnya generasi Muslim yang harus mengurusi umat ini di zaman yang bukan zamanmu. Kitalah yang bertanggung-jawab terhadap kuat atau lemahnya mereka di zaman yang boleh jadi kita semua sudah tiada.
Hari ini, ketika di banyak tempat, kemampuan guru-guru kita sangat menyedihkan, sungguh yang paling mengkhawatirkan adalah masa depan umat ini. Maka, keharusan untuk belajar bagimu, wahai Para Guru, bukan semata urusan akreditasi. Apalagi sekedar untuk lolos sertifikasi. Yang harus engkau ingat adalah: “Ini urusan umat. Urusan dakwah.” Jika orang-orang yang sudah setengah baya atau bahkan telah tua, sulit sekali menerima kebenaran, sesungguhnya ini bermula dari lemahnya dakwah terhadap mereka ketika masih belia; ketika masih kanak-kanak. Mereka mungkin cerdas, tapi adab dan iman tak terbangun. Maka, kecerdasan itu bukan menjadi kebaikan, justru menjadi penyulit bagi mereka untuk menegakkan dien.
Wahai Para Guru, belajarlah dengan sungguh-sungguh bagaimana mendidik siswamu. Engkau belajar bukan untuk memenuhi standar dinas pendidikan. Engkau belajar dengan sangat serius sebagai ibadah agar memiliki kepatutan menjadi pendidik bagi anak-anak kaum Muslimin. Takutlah engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, jika engkau menerima amanah sebagai guru, sedangkan engkau tak memiliki kepatutan, maka engkau sedang membuat kerusakan.
Sungguh, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah saatnya (kehancuran) tiba.
Ingatlah hadis Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,” Dia (Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Beliau menjawab, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!”(HR. Bukhari).
Maka, keharusan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan serius bukanlah dalam rangka memenuhi persyaratan formal semata-mata. Jauh lebih penting dari itu adalah agar engkau memiliki kepatutan menurut dien ini sebagai seorang guru. Sungguh, kelak engkau akan ditanya atas amanah yang engkau emban saat ini.
Wahai Para Guru, singkirkanlah tepuk tangan yang bergemuruh. Hadapkan wajahmu pada tugas amat besar untuk menyiapkan generasi ini agar mampu memikul amanah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. Sungguh, kelak engkau akan ditanya di Yaumil-Qiyamah atas urusanmu.
Jika kelak tiba masanya sekolah tempatmu mengajar dielu-elukan orang sehingga mereka datang berbondong-bondong membawa anaknya agar engkau semaikan iman di dada mereka, inilah saatnya engkau perbanyak istighfar. Bukan sibuk menebar kabar tentang betapa besar nama sekolahmu. Inilah saatnya engkau sucikan nama Allah Ta’ala seraya senantiasa berbenah menata niat dan menelisik kesalahan diri kalau-kalau ada yang menyimpang dari tuntunan-Nya. Semakin namamu ditinggikan, semakin perlu engkau perbanyak memohon ampunan Allah ‘Azza wa Jalla.
Wahai Para Guru, sesungguhnya jika sekolahmu terpuruk, yang paling perlu engkau tangisi bukanlah berkurangnya jumlah siswa yang mungkin akan terjadi. Ada yang lebih perlu engkau tangisi dengan kesedihan yang sangat mendalam. Tentang masa depan ummat ini; tentang kelangsungan dakwah ini, di masa ketika kita mungkin telah tua renta atau bahkan sudah terkubur dalam tanah.
Ajarilah anak didikmu untuk mengenali kebenaran sebelum mengajarkan kepada mereka berbagai pengetahuan. Asahlah kepekaan mereka terhadap kebenaran dan cepat mengenali kebatilan. Tumbuhkan pada diri mereka keyakinan bahwa Al-Qur’an pasti benar, tak ada keraguan di dalamnya. Tanamkan adab dalam diri mereka. Tumbuhkan pula dalam diri mereka keyakinan dan kecintaan terhadap As-Sunnah Ash-Shahihah. Bukan menyibukkan mereka dengan kebanggaan atas dunia yang ada dalam genggaman mereka.
Ini juga berlaku bagi kita.
Ingatlah do’a yang kita panjatkan:
“اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ”
“Ya Allah, tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami rezeki kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil, serta limpahilah kami rezeki untuk mampu menjauhinya.”
Inilah do’a yang sekaligus mengajarkan kepada kita agar tidak tertipu oleh persepsi kita. Sesungguhnya kebenaran tidak berubah menjadi kebatilan hanya karena kita mempersepsikan sebagai perkara yang keliru. Demikian pula kebatilan, tak berubah hakekatnya menjadi kebaikan dan kebenaran karena kita memilih untuk melihat segi positifnya. Maka, kepada Allah Ta’ala kita senantiasa memohon perlindungan dari tertipu oleh persepsi sendiri.
Pelajarilah dengan sungguh-sungguh apa yang benar; apa yang haq, lebih dulu dan lebih sungguh-sungguh daripada tentang apa yang efektif. Dahulukanlah mempelajari apa yang tepat daripada apa yang memikat. Prioritaskan mempelajari apa yang benar daripada apa yang penuh gebyar. Utamakan mempelajari hal yang benar dalam mendidik daripada sekedar yang membuat sekolahmu tampak besar bertabur gelar. Sungguh, jika engkau mendahulukan apa yang engkau anggap mudah menjadikan anak hebat sebelum memahami betul apa yang benar, sangat mudah bagimu tergelincir tanpa engkau menyadari. Anak tampaknya berbinar-binar sangat mengikuti pelajaran, tetapi mereka hanya tertarik kepada caramu mengajar, tapi mereka tak tertarik belajar, tak tertarik pula menetapi kebenaran.
 ***
 Jangan sepelekan dakwah terhadap anak! Kesalahan mendidik terhadap anak kecil, tak mudah kelihatan. Tetapi kita akan menuai akibatnya ketika mereka dewasa. Betapa banyak yang keliru menilai. Masa kanak-kanak kita biarkan direnggut TV dan tontonan karena menganggap mendidik anak yang lebih besar dan lebih-lebih orang dewasa, jauh lebih sulit dibanding mendidik anak kecil. Padahal sulitnya melunakkan hati orang dewasa justru bersebab terabaikannya dakwah kepada mereka di saat belia.
Wallahu a’lam bish-shawab. Kepada Allah Ta’ala kita memohon pertolongan. Maafkan saya.*
Mohammad Fauzil Adhim adalah penulis buku-buku parenting. Twitter @kupinang
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Kamis, 23 April 2015

Dakwah Situs Islam dan Cita-Cita Pendiri Negara [2]

Para guru di sebuah sekolah di Surabaya gembira bisa membuka kembali situs hidayatullah.com
Oleh: Kholili Hasib
Sambungan dari artikel PERTAMA
JENDERAL Abdul Haris (AH) Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30).
Prof. Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’ (Prof. Hazairin,Demokrasi Pancasila, hal. 31).
Pendapat tersebut juga pernah diputuskan oleh ulama NU dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo Jawa Timur tanggal 21 Desember 1983. Di antara keputusan Munas tersebut adalah, (1) Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimaman dalam Islam.
Maka, KH. Wahid Hasyim pada saat pembahasan rancangan UUD 1945, pada pasal 2 ayat 4 agar Presiden adalah orang Indonesia asli yang Muslim. Kalimat yang diusulkan berbunyi : “Yang Menjadi Presiden dan wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam” (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 33). Usulan kiai NU ini satu nafas dengan asas negara yang berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Artinya, sesunggunya para pendiri negara Indonesia bersepakat bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan kepada keimanan tauhid. Bukan negara netral-agama.
Tafsir Asli Pancasila
Dr Adian Husaini berpendapat, para perumus dasar negara bermaksud memasukkan konsep-konsep kunci Islam ke dalam Pancasila. Sehingga, menurutnya, penafsiran Pancasila yang paling tepat adalah berdasarkan tauhid Islam, bukan sebebasnya apalagi atas dasar tafsir sekuler.
Cukup menarik pendapat M. Natsir yang mengatakan; “Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukan berarti Islam”. Artinya, Pancasila tidak-lah mewakili seluruh ajaran Islam. Tetapi Pancasil, dapat sesuai dengan tujuan pendiri bangsa, sehingga dibingkai dengan tauhid.
Berdasarkan hal itu, ajaran tauhid Islam bisa diterapkan dalam bidang kenegaraan. Keinginginan agar pemimpin Indonesia sesuai dengan Islam, adalah sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa, legal dan sesuai undang-undang dasar. [Baca: Menjernihkan Tafsir Pancasila]
Sudah sepatutnya, negara ini siap untuk tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam. Konsep ketauhidan ini merupakan konsep yang ideal bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim.
Segala bentuk kesyirikan, kesesatan dan pengebirian terhadap ajaran agama layak diberi tindakan. Karena tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. UU. No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, merupakan produk undang-undang yang semestinya ditegakkan dengan tegas oleh para negarawan. Karena UU tersebut merupakan amanah pendiri bangsa, agar Indonesia tetap bertauhid, bebas dari faham anti-agama.
Inilah cara para pendiri bangsa agar karakter bangsa tidak ditelan oleh imperialisme baru. Seperti ungkapan KH. Muhammad Isa Anshori;
“Pancasila harus hidup dengan teman-temannya sila yang lain, seribu satu sila yang tersebar dalam lembaran ajaran Islam. Bila Pancasila tidak dijaga dengan cara seperti itu, maka akan ditelan oleh imperialisme dan komunisme.”
Dengan itu, amanah besar yang harus diusung kembali oleh generasi kita sekarang adalah, menjadikan Indonesia lebih beradab.  Kaum Muslimin harus didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Taat dan tidak anti-agama. Terkait dengan amanah bangsa ini, Adian Husiani, pernah mengusulkan agar Presiden mengeluarkan Kepres ‘Iman dan Takwa’ dalam pendidikan sebagai penjabaran tujuan pendidikan Nasional sebagaimana termaktub dalam Sisdiknas dan UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan tinggi.
Karena itu, bangsa Indonesia hendaknya mewaspadai upaya-upaya untuk membecah belah bangsa dan usaha menjauhkan warga negara dari berketuhanan.
Situs-situs dakwah Islam sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD ’45 sehingga tidak perlu dicurigai. Pemblokiran tanpa alasan justru menimbulkan permusuhan elemen bangsa. Adu domba kaum Muslim dengan pemerintah juga dengan masyarakat harus dihentikan. Semua harus kembali kepada tafsir Pancasila yang asli, dimana negara ini taat pada Tuhan, bukan anti-Tuhan dan anti-Islam.*
Penulis adalah pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Rabu, 22 April 2015

Dakwah Situs Islam dan Cita-Cita Pendiri Negara [1]

Media-media Islam yang konten dan isinya selama ini mengajak remaja, masyarakat menjauhkan dari hal-hal yang terlarang yang justru harus dirangkul pemerintah, bukan dihalang-halangi.
Para guru di sebuah sekolah di Surabaya gembira bisa membuka kembali situs hidayatullah.com

Oleh: Kholili Hasib
PEMERINTAH akhirnya melakukan normalisasi terhadap situs-situs media Islam yang sempat dicurigai berbahaya.  Hampir sepekan kasus ini menyita perhatian publik, khususnya kaum Muslim Indonesia.
Sebelumnya,  sempat ada suara-suara yang mendukung penutupan 19 situs Islam dengan beralasan bahwa situs media Islam itu bertentangan dengan Pancasila serta membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja tuduhan tersebut berlebihan.
Salah satu portal berita Islam hidayatullah.commisalnya, telah beroperasi selama 19 tahun, ikuti mengiri pergantian banyak pemimpin Indonesia. Dari masa kepeimpinan Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati,  Susilo B Yudhoyono tidak pernah memiliki masalah apapun dengan pemerintah.  Baru beberapa saat kepemimpinan Indonesia dipegang Presiden Joko Widodo, situs ini dipermasalahkan.
Tidak bisa dipungkiri, memang terdapat situs yang menggerakkan ajaran yang oleh pemerintah disebut ‘radikal’. Namun menggeneralisir situs Islam yang tidak terindikasi radikal adalah aksi berlebihan, bahkan membahayakan. Bisa jadi mengadu domba antar elemen masyarakat.
Pemerintah haruslah bersikap adil dan bijak. Prosedur pemblokiran harus dibuktikan di pengadilan terlebih dahulu.
Sepengetahuan saya, situs Islam yang tidak  terbukti menggerakkan radikalisme justru bermanfaat untuk bangsa Indonesia, bahkan banyak membantu pemerintah, utamanya terkait dengan Islam di Indonesia.
Karena selama ini mereka memberi perimbangan informasi. Media Islam mengajak kaum Muslim untuk menjadi warga negara yang taat kepada Tuhan, menjadi Muslim yang baik.
Harusnya itu menjadi hal baik bagi pemerintah dibanding pemerintah menghabiskan uang Negara untuk mengembalikan warga yang terpengaruh narkotika dan obat terlarang (Narkoba), karena aliran sesat dan masyarakat yang tersangkut dengan aksi kejahatan dan pornografi.
Belum lama ini Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa kembali menegaskan bahwa saat ini Indonesia sudah masuk darurat pornografi lantaran biaya untuk belanja pornografi sepanjang 2014 diperkirakan mencapai Rp 50 triliun.
Sementara untuk kasus narkotika dan obat terlarang (Narkoba), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Anang Iskandar belum lama ini mengatakan, biayanya rehabilitasi pecandu Narkoba minimal Rp 2.1 juta per bulan perorang.
Padahal, ada sekitar 27 ribu pecandu narkotika yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sementara tempat rehabilitasi yang dimiliki BNN jumlahnya terbatas dan hanya mampu menampung 2 ribu orang per tahunnya. [Baca: Selamatkan Remaja Kita Dari ‘Terorisme” Moral]
Berapa uang Negara harus dihabiskan pemerintah mengembalikan mereka menjadi normal?  Seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah.
Media-media Islam yang konten dan isinya selama ini mengajak remaja, masyarakat menjauhkan dari hal-hal yang terlarang yang justru harus dirangkul pemerintah, bukan dihalang-halangi.
Umat Islam dan Pendiri Bangsa
Sebagaimana sila pertama kita, Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI) dibangun oleh para pejuang Islam dengan cita-cita membangun bangsa yang berketuhanan. Kita harus membaca sejarah pendirian bangsa ini.
Ketika pertama kali dirancang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers), karakter negara yang diinginkan adalah sebuah ‘Negara berketuhanan, berkeadilan dan bermartabat’.  BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) – sebuah panitia kecil  yang bertugas menyiapkan asas-asas kenegaraan pada tanggal 22 Juni 1945, bersepakat atas klausul bersama bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan”.
Panitia yang beranggotakan sembilan orang; Soekarno, Mohammad Hatta, AA. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Achmad Subarjo, KH. Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin, berdebat sangat sengit dan melelahkan. Namun, akhirnya berhasil merumuskan klausul sangat penting dalam bentuk Pancasila dan UUD’45, sebagai dasar dalam menjalankan negara Indonesia.
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Klausul negara berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid ini tidak berlebihan. Sebab, kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai berkat jasa besar para ulama, santri dan kaum Muslimin, berperang melawan penjajah.
Di Aceh, para ulama terlibat Perang Sabil tahun 1873-1904. Di Jawa Jimur, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk merebut kota Surabaya pada 23 Oktober tahun 1945.
Dalam tiap tahap-tahap perjuangan bangsa, selalu ada peran ulama. Sebelum memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno di Cianjur menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan (Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah).* (Bersambung).. kembali pada Tafsir Pancasila yang Asli….
Penulis adalah pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Kamis, 16 April 2015

Perlu Ilmu Dan Tak Putus Asa Dalam Berdakwah (2)

sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Fais al-Fatih
AJAKAN dan seruan itu memiliki makna yang indah dan tersembunyi. Dia menggunakan metode yang paling indah dalam berdialog, berdebat dan berdiskusi. Dimana dia berusaha agar mereka menerima dengan lapang apa yang diserukan olehnya tanpa ada sedikit pun unsur pemaksaan. Dalam hal ini seolah-olah dia mengatakan, “Bayangkanlah, andaikan mereka itu bukanlah rasul Allah dan bukan pula para Nabi yang memberikan pengajaran menuju jalan yang benar, namun mereka itu orang yang mendapat petunjuk dan mengetahui dengan benar jalan lurus yang akan mengantarkan kepada jalan yang benar, kemudian mereka termasuk orang yang sama sekali tidak mengharapkan imbalan dan upah sepeserpun dari kalian.”
Lelaki itu juga bertanya, “Mengapa aku tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku?” (QS. Yasin: 22). Itu adalah sebuah pertanyaan yang bersifat pengingkaran. Di dalamnya ada isyarat bahwasanya setiap orang hendaknya menyembah kepada Allah, Dzat yang sangat jelas eksistensi-Nya. Maka bagi yang tak mau menyembah Allah, hendaklah dia mengedepankan alasan yang barangkali dapat menghalanginya untuk beribadah kepada-Nya. Pada pertanyaan itu pula terdapat sebuah sentuhan makna yang demikian indah, dimana orang itu bertanya dan mengajak bicara dirinya sendiri, sebelum mengajak kaumnya. Dia mengatakan “Yang menciptakanku…”, bukan “Yang menciptakanmu..” Pertanyaan itu dia tutup dengan mengatakan, “Dan hanya kepada-Nya-lah kamu semua akan dikembalikan.” (QS. Yasin: 22).
Dia kembali melontarkan pertanyaan kepada kaumnya, “Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya?” (QS. Yasin: 23). Pertanyaan itu benar-benar menggambarkan kesempurnaan tauhid yang telah telah dimilikinya. Pertanyaan itu mengingkari kesyirikan terhadap-Nya dan ketiadaan ibadah kepada selain Dia.
Mereka semua termasuk ketiga utusan, Habib al-Najjar dan kaumnya sama-sama sebagai makhluk yang lemah dan tiada daya, yang senantiasa membutuhkan Allah dan menghajatkan-Nya. Dan jika sang lelaki itu tidak mengikuti seruan tauhid dari para utusan maka, “Sesungguhnya aku kalau begitu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yasin: 24).
Dia menutup ajakannya kepada kaumnya itu dengan sebuah closing statement yang mengagumkan. Dalam firman-Nya lelaki itu berkata, “Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhan kalian, maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku.” (QS. Yasin: 25).
Pernyataan itu bukan hanya permintaan kepada kaumnya untuk sekedar mendengarkan pengakuannya saja, tetapi juga merespon ajakan kebenaran dan masuk dalam iman kepada-Nya.
Lelaki itu kemudian dibunuh oleh kaumnya. Dari Ibnu Mas’ud ra dikatakan, “Mereka menginjakkan kaki pada tubuhnya hingga tulang punggungnya keluar.” Sungguh Allah subhanahu Wata’ala tidak menyia-nyiakan pengorbanan yang telah dia lakukan. Allah berfirman, “Masuklah ke surga.” (QS. Yasin: 26).
Betapa mulianya ia setelah mendapatkan nikmat surga kemudian dia mengingat kaumnya dengan hati yang tulus penuh dengan keridhaan, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui.” (QS. Yasin: 26). Alangkah baiknya, jika kaum itu mengetahui apa yang akan mereka dapatkan jika mengikuti para utusan dan beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tapi sayang, mereka mengingkari dan Allah menghinakan mereka dengan, “Satu teriakan suara saja, maka tiba-tiba mereka mati semuanya.” (QS. Yasin: 29).
Bagi para da’i yang menyerukan kebenaran, baik itu di dunia maya maupun dunia nyata, termasuk lulusan pesantren kilat sekalipun hendaknya metodologi yang digunakan lelaki ini ditiru dan dipelajari, adanya kebenaran dalam dakwah yang disampaikan dan keikhlasan arah tujuan, semangat untuk mengantarkan pada hidayah, keberanian yang luar biasa, cara berpikir yang runtut dan penuh dengan kekuatan logika, dan itu semua kembali pada kuatnya iman yang mengakar pada lelaki rabbani tersebut.
Dia berani pasang badan di depan materialisme yang kejam. Dengan penuh kelembutan dia mengajak kaumnya untuk mengikuti kebenaran dan meminta kepada mereka untuk menyambut seruan para utusan. Walaupun dia sendiri melihat akan ada marabahaya yang akan menimpa dan siksaan yang akan melanda, dia tetap beriman dan dengan ikhlas mengumandangkan dengan lantang pengakuan keimanannya dan dia siap menanggung resiko yang bakal menimpanya.
Dan janganlah ketika berdebat atau adu argumentasi dengan pihak yang ingin kita dakwahi dengan tujuan untuk mencari kemenangan, pamor dan popularitas karena itu merupakan akhlak yang tercela. Ilmu yang mungkin tidak seberapa yang kita bisa jadi membantu untuk meraih kemenangan saat berdebat tapi sayang tak akan memberikan manfaat kelak di akhirat. Hasbunallaahu wa ni’mal wakil…*
Mahasiswa Pascasarjana Informatika Kelompok Studi Palestina (KSP)

Rep: Admin Hidcom
Editor:
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Rabu, 15 April 2015

Perlu Ilmu Dan Tak Putus Asa Dalam Berdakwah (1)

Oleh: Fais al-Fatih
PERKEMBANGAN media sosial di Indonesia saat ini sangat luar biasa. Banyak orang memanfaatkannya dengan bermacam-macam. Mulai untuk tujuan bisnis, sekedar iseng, penipuan, hingga untuk berdakwah. Bahkan tak kalah penting, sebagai ajang menyebarkan pemikiran-pemikiran.
Salah satu pihak yang gencar menyebarkan pemikiran-pemikirannya adalah kalangan yang mengaku Islam tetapi berpikiran liberal-sekular. Mereka aktif memposting opini dan pendapat mereka tentang sesuatu — tentunya saja– dengan kacamata liberal yang mereka gunakan. Sayangnya, banyak kalangan awam yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang Islam, ikut terjebak dan terhipnotis dengan pendapat-pendapat ‘menyesatkan’ mereka.
Pengguna sosial media hari ini masih kurang diminati aktivis Islam. Sebagai bagian dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, sesekali perlu kalangan Muslim merebut wacana dengan melakukan counter atau menyanggah pendapat-pendapat kalangan seperti ini. Toh hal seperti ini juga dibolehkan oleh Nabi kita.
Dari Abu Sa’id Al Khudry ra berkata, saya mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim).
Dalam meng-counter pendapat tersebut diperlukan kesabaran, keilmuan dan juga keikhlasan, bukan untuk menang-menangan, apalagi sekedar popularitas belaka.
Belum lama ini kalangan aktivis liberal ‘menyerang’ para aktivis Islam di jejaring twitter dengantwitwar (perang status di Twitter).
Kaum liberalis melabeli para aktivis Islam ini sebagai “lulusan pesantren kilat”. Maksudnya, lulusan ‘pesantren kilat’, memang tak pantas mendebat mereka yang notabene jebolan pesantren “asli” dan lulusan universitas-universitas ternama di luar negeri.
Lulusan ‘pesantren kilat’, yang dicap belum memiliki ilmu dan wawasan keislam-an yang kuat.
Jika memang begitu kenyataannya, ilmu yang kita miliki belum cukup dan strata pendidikan kita tidak setinggi mereka, janganlah kita merasa putus asa dan hilang harapan.
Jangan pula kita berhenti untuk menyuarakan kebenaran dan melawan kebathilan. Kita wajib untuk terus mendakwahi mereka dan korban pemikiran mereka dengan cara yang santun, bahasa yang sopan, argumentasi yang kuat dan akhlak yang baik, seperti teladan lulusan pesantren kilat yang akan diceritakan di bawah ini. Lebih-lebih menambah ilmu.
Adalah Habib al-Najjar. Dia adalah salah satu lulusan pesantren kilat yang fenomenal, mewangi namanya tercatat indah di surah yang paling sering dibaca oleh Muslim di tanah air, surah Yasin. Adalah Ashabul Qaryah (penduduk suatu negeri), ketika diutus kepada mereka dua orang utusan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُم مُّرْسَلُونَ
“Kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, ‘Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.’” (QS. Yasin: 14).
Kaum itu tetap membangkang dan tidak mengindahkan seruan para utusan dan melabeli para utusan sebagai pendusta.
Tetiba datanglah dari ujung kota seorang lelaki. Lelaki itu bukanlah siapa-siapa, dia tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Dia pun tak memiliki kedudukan yang mulia di mata kaumnya. Tapi dia memiliki sesuatu yang lebih berharga dari itu semua, yaitu aqidah yang hidup dan menyeruak di dalam jiwanya, mendorong dan memotivasinya untuk datang dari ujung kota dengan ilmu yang seadanya untuk menguatkan dakwah para utusan. Lelaki itu ketika mendengarkan dakwah dari para utusan, kemudian langsung meresponnya setelah melihat adanya tanda-tanda kebenaran. Dengan bergegas ia berkata,
وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ
تَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Wahai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang tiada meminta imbalan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 20-21).
Imam Fakhrurrazi rahimahullaah dengan sangat indah nan menyentuh memaparkan beberapa hikmah yang agung, yang mengisyaratkan akan ajegnya dakwah tauhid di dalam dada Habib al-Najjar ini, yang demikian jujur dan ikhlas menyeru dan mengajak kaumnya.
Dalam firman-Nya disebutkan, “Dengan bergegas”, sebagai gambaran bagi kita, bahwa ia ingin sekali kaumnya bisa sesegera mungkin merasakan dan mereguknya sejuknya hidayah seperti yang telah didapatkannya. Memberi motivasi bagi kita untuk senantiasa menguras segala daya upaya yang kita miliki untuk memberikan seuntai nasihat kepada orang yang kita cintai.
Seruan “Wahai kaumku..”, memiliki rahasia makna yang begitu mendalam, dimana dalam ungkapan tersebut nampak sekali bagaimana dalamnya rasa kasih sayang yang dimilikinya terhadap kaumnya. “Ikutilah utusan-utusan itu…”, merupakan ajakan agar mereka mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada mereka. Dia tidak mengatakan, “Ikutilah aku…”, karena memang dia bukanlah siapa-siapa. Dia mengajak mereka untuk mengikuti para Rasul yang telah menampakkan bukti yang terang benderang kepada mereka.
Kemudian, dalam firman-Nya pula disebutkan, Habib al-Najjar mengatakan, “Ikutilah orang yang tiada meminta imbalan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 21).*/bersambung Tirulah Metode Ini..
Mahasiswa Pascasarjana Informatika Kelompok Studi Palestina (KSP)

Rep: Admin Hidcom
Editor:

Selasa, 14 April 2015

Atraktif Dalam Berdakwah

Oleh: Ilham Kadir
MENJADI seorang Muslim yang baik bukanlah semata-mata hanya taat shalat, puasa, zakat, haji, dan melimpahnya jumlah hitungan tasbih. Tetapi tak kalah pentingnya adalah sejauh mana manfaatnya kepada orang lain.
Kesalehan individu harus dibarengi dengan koreksi terhadap kesalahan orang lain karena bencana bukan hanya diperuntukkan kepada orang-orang yang tidak saleh saja.
Dalam Al-Quran Surat Al- ‘Ashr [103]:1-3) dijelaskan dengan gamblang bahwa, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan kesabaran.” Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah besabda, “Manusia bergantung kepada Allah, yang lebih dicintai-Nya adalah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya.”
Jadi Muslim yang baik, beruntung dan tidak buntung adalah, mereka yang melengkapi perbuatan baiknya dengan keimanan, kesabaran, dan selalu nasihat-menasihati dalam menunjukkan kebenaran ajaran Islam serta kesabaran dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Dengan itu, seorang Muslim dapat bermanfaat kepada Muslim lainnya, makin berkualitas nasihat yang kita sampaikan, makin tinggi pula nilainya di sisi Allah.
Makin menarik metode dalam memberikan nasihat, makin ramai pula peminat nasihat, dan tentunya amal kita juga makin meningkat.
Siapa yang menunjukkan satu perbuatan baik kepada orang lain, niscaya ia akan turut mendapatkan pahala sebagaimana yang melakukakannya, tidak berkurang sedkit pun, dan barang siapa yang menunjukkan jalan kesesatan, niscaya dosanya persis dengan orang yang mekakukan dosa itu tak kurang sedikit pun. Demikian Nabi bersabda.
Dakwah Atraktif
Islam sebagai agama misi mengharuskan ada segolongan orang yang melakukan kerja-kerja dakwah secara profesional dan atraktif, sehingga umat mendapat pencerahan dan bimbingan sesuai apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersama para sahabatnya: amar ma’ruf nahi munkar.
Orang yang terlibat dalam dakwah adalah manusia pilihan yang menjadi pewaris para nabi (waratsatul anbiya’). Karena sentuhan para dai sehingga agama ini tetap eksis di muka bumi. Untuk itulah, para dai perlu bekal yang cukup sebelum terjun dalam masyarakat luas, bukan hanya sekadar memiliki satu-dua buku kumpulan khutbah Jum’at lalu terjun bebas berdakwah tanpa ilmu yang memadai dan pengetahuan tentang metodologi dakwah yang mumpuni. Kita tidak butuh dai yang fakir materi dan miskin metode.
Penguasaan materi adalah hal mutlak yang harus dimiliki seorang dai, dalam ajaran Islam, ada tiga perkara inti yang harus diketahui setiap Muslim, yaitu ‘ilmu ushuluddin, atau landasan ajaran agama (tauhid), ‘ulum as-syariah, atau ilmu yang berhubungan dengan tata cara beribadah (kepada Allah) dengan baik dan benar, serta ilmu muamalat, termasuk di dalamnya adab berinteraksi sesama makhluk Allah di muka bumi yang sebagian ulama menamai at-tashawwuf wal akhlaq.
Jika para rasul mendapatkan materi dari Allah melalui wahyu, maka manusia biasa seperti kita harus mendapatkan ilmu dengan cara belajar dan membaca. Para dai harus memiliki keilmuan yang syumul (komprehensif) sehingga dakwahnya selain kaya materi juga harus selalu situasional. Tidak mesti benar-benar ahli dalam satu bidang, tetapi minimal harus tau bidang-bidang tertentu yang sering menjadi tema pembahasan. Penceramah tidak mesti seorang pakar hadis untuk mengutif sebuah hadis, tapi ia harus tau kedudukan sebuah hadis dan cara menerangkan  (matan) isinya  dengan benar.
Ketika para dai banyak membaca, maka mereka akan sanggup memimpin umat Islam. Jika umat Islam membaca lebih banyak lagi, maka mereka akan memimpin peradaban umat manusia. Sungguh sebuah ironi, karena faktanya: orang-orang Barat (Kristen) banyak membaca, sedang umat Islam sedikit membaca! Selain itu, kita belajar untuk membaca, sedang Barat membaca untuk belajar.
Selain materi, penguasaan metode berdakwah juga tak kalah pentingnya. Dalam ilmu komunikasi kita kenal “Fannul Khithobah” seni berpidato. Ilmu ini juga tak kalah pentingnya, karena seorang orator kendati menguasai materi sebanyak apa pun, namun jika terserang ‘demam  panggung’ semuanya akan sia-sia. Atau seorang dai yang tidak tau metode dakwah sehingga para jamaah salah paham dan berbalik memusuhinya, ini jauh lebih fatal.
Tak Memburu Kemewahan Dunia
Hisham Altalib, dalam “Training Guide for Islamic Workers, 1991” menulis sebuah cerita tentang seorang ustad yang mahir mendidik para santrinya untuk berdakwah. Enam bulan teori –pembekalan materi—dan tiga bulan untuk praktik-lapangan. Seorang siswa yang percaya diri telah menyelesaikan bagian teori merasa bahwa dia akan dapat mengerjakan praktiknya sendiri. Sang ustad mengingatkan, tapi tidak digubris. Dia telah memilih sebuah desa nun jauh untuk melakukan praktik dakwahnya sendiri. Pada hari Jumat pertama di desa itu, seorang imam gadungan menyampaikan satu khutbah yang penuh dengan kebohongan tentang Allah dan Rasul-Nya.
Santri tersebut berdiri dan berteriak dengan lantang, ‘Imam itu pembohong! Allah dan Rasul-Nya tidak mengatakan demikian!’ Sang Imam pun menjawab, ‘Pemuda itu kafir dan harus dihukum!’ Para hadirin shalat jumat bersatu menyerang santri itu secara membabi buta.
Ia pun kembali pada ustad dengan balutan dan tulang yang remuk (babak belur). Ustad berkata padanya, ‘Akan kutunjukkan padamu praktik dakwah yang baik dan atraktif.’
Jumat selanjutnya, mereka pergi ke masjid yang sama dengan imam yang sama menyampaikan khutbah serupa. Setelah mendengar khutbah, sang ustad berdiri dan berkata, ‘Imam kalian adalah lelaki penghuni surga. Setiap orang yang mengambil rambut dari jenggutnya akan mendapatkan surga!’
Seketika,  para jamaah Jumat menyerang janggut sang imam dan setiap orang menarik satu rambut dari jenggutnya sampai gundul, darah pun bercucuran. Ustad lalu membisikkan kata-kata kepada Imam gadungan, ‘Akankah Anda berhenti berbohong tentang Allah dan Rasul-Nya? Atau Engkau ingin hukuman tambahan?’ Sang imam mengaku salah dan bertobat. Santri itu menyadari kekeliruannya, dan memohon pada ustad agar diberi waktu tambahan tiga bulan untuk praktik berdakwah. Teori dan praktik  dua adalah kutub yang beda.
Bekal yang terpenting dari semuanya adalah, seorang pendakwah harus sesuai ucapan dan perbuatannya. Tidak lazim membahas tema fadhilatul ju’ keutamaan berlapar-lapar sementara dia sendiri tidak pernah kelaparan; menekankan keutamaan shalat berjamaah sementara ia hanya berjamaah di hari Jumat; menekankan keutamaan berpoligami sementara dirinya belum punya istri walau hanya satu. Inilah yang dimaksud dalam Al-Quran (QS. 61:2),lima taquluna ma la taf’alun, Mengapa kamu katakan sesuatu yang tidak kamu laksanakan?
Hingga saat ini, umat Islam masih tetap memandang bahwa para dai adalah harapan, cita-cita, dan penyelamat bangsa dan umat, mereka adalah agent of change.
Salah satu ciri kian dekatnya hari kiamat adalah, jika para dai rama-ramai menetap di kota untuk memburu kemewahan dunia, dan pada saat yang sama para misionaris berramai-ramai masuk kampung untuk menyelamatkan ‘domba-domba’ sesat. Wallahu a’lam!
Penulis adalah pemerhari pendidikan Islam dan aktivis dakwah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !
Topik: