Senin, 04 Mei 2015

Tiga Manfaat Utama Membiasakan Dzikir kepada Allah


“Dzikir kepada allah Ta’ala adalah ibadah terbesar dibandingkan ibadah lainnya,” demikian kata Ibn Abbas RA
MENJELASKAN hal ini,  Imam Ghazali dalam kitabnya “Dzikurllah” menulis, “Jika Anda bertanya, kenapa dzikir kepada Allah yang dikerjakan secara samar oleh lisan dan tanpa memerlukan tenaga yang besar menjadi lebih utama dan lebih bermanfaat dibandingkan dengan sejumlah ibadah yang dalam pelaksanaannya banyak mengandung kesulitan?”
Imam Ghazali menjelaskan bahwa dzikir mengharuskan adanya rasa suka dan cinta kepada Allah Ta’ala. Maka tidak akan ada yang mengamalkannya kecuali jiwa yang dipenuhi rasa suka, dan cinta untuk selalu mengingat dan kembali kepada-Nya.
Orang yang mencintai sesuatu akan banyak mengingatnya, dan orang yang banyak mengingat sesuatu (meskipun pada mulanya ini adalah bentu pembebanan) pasti akan mencintainya. Begitu halnya dengan orang yang berdzikir kepada Allah Ta’ala.
Apabila seorang Muslim sampai pada derajat suka berdikir, maka ia tidak akan melakukan erbuatan lain selain dzikir kepada Allah Ta’ala. Sesuatu yang selain Allah adalah sesuatu yang pasti meninggalkannya saat kematian menjemput. Nah, di sinilah urgensi mengapa setiap jiwa sangat membutuhkan amalan dzikir.
Dengan demikian, apa saja manfaat utama dari amalan yang sampai dibahas secara khusus oleh Imam Ghazali ini?
Pertama, kebahagiaan setelah kematian
Ketika seorang Muslim meninggal dunia, maka harta, istri, anak, dan kekuasaan akan meninggalkannya. Ya, tidak ada lagi yang bersamanya selain dzikir kepada Allah Ta’ala. Saat itulah, amalan dzikir akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi diirnya.
Imam Ghazali memberikan ilustrasi menarik akan hal ini. “Ada orang bertanya, ‘Ia sudah lenyap, lalu bagaimana perbuatan dzikir kepada Allah masih tetap kekal bersamanya?”
Imam Ghazali pun menjelaskan, “Sebenarnya ia tidak benar-benar lenyap, yang juga melenyapkan amalan dzikir. Ia hanya lenyap dari dunia dan alam syahadah, bukan dari alam malakut. Hal ini tertera dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 169-170.”
Kedua, senantiasa diingat oleh Allah Ta’ala
Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman;
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (QS. Al-Baqarah [2]: 152).
Tsabit Al-Banani berkata, “Saya tahu kapan Allah mengingatku.” Orang-orang pun merasa khawatir dengan ucapannya sehingga mereka pun bertanya, “Bagaimana kamu mengetahuinya?” Tsabit menjawab, “Saat aku mengingat-Nya, maka Dia mengingatku.”
Dalam Hadits Qudsi juga disebutkan, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku akan bersama hamba-Ku selama ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak karena Aku.” (HR. Baihaqi & Hakim).
Subhanallah, bagaimana kalau Allah yang mengingat diri kita yang dhoif. Bayangkan saja, seorang kepala desa akan sangat senang jika dirinya senantiasa diingat oleh gubernur atau presiden. Bagaimana kalau yang mengingat kita adalah Allah Ta’ala, Rabbul ‘Alamin!
Pantas jika kemudian sahabat Nabi Shallallahu alayhi wasallam, Muadz bin Jabal berkata, “Tidak ada yang disesali oleh penghuni surga selain waktu yang mereka lewatkan tanpa berdzikir kepada Allah Ta’ala.”
Ketiga, diliputi kebaikan demi kebaikan
Seorang Muslim yang senantiasa berdzikir akan senantiasa mendapatkan kebaikan demi kebaikan.
Rasulullah bersabda, “Tiada suatu kaum yang duduk sambil berdzikir kepada Allah melainkan mereka akan dikelilingi oleh malaikat, diselimuti oleh rahmat dan Allah akan mengingat mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (HR. Bukhari).
Sementara itu hadits yang lain menyebutkan, “Tiada suatu kaum yang berkumpul sambil mengingat Allah dimana dengan perbuatan itu mereka tidak menginginkan apa pun selain diri-Nya, melainkan penghuni langit akan berseru kepada mereka, ‘Bangkitlah, kalian telah diampuni. Keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan-kebaikan’.” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, sangat luar biasa kasih sayang Allah kepada umat Islam. Manfaat dzikir yang sedemikian luar biasa bagi kehidupan dunia-akhirat kita senantiasa Allah ulang-ulang di dalam kitab-Nya agar kita terus menerus mengamalkannya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab [33]: 41).
Bahkan saat kita usai sholat pun, Allah tekankan agar kita terus berdzikir kepada-Nya.
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring” (QS. An-Nisa [4]: 103).
Dengan demikian, mari kita upayakan agar muncul rasa suka dan cinta untuk senantiasa berdzikir kepada-Nya. Karena amalan ini sangat mudah diamalkan dengan manfaat yang sangat luar biasa. Tidak saja menjamin kebaikan di dunia, tetapi juga memastikan kebaikan di akhirat. Semoga Allah anugerahi kita hati yang senantiasa suka, cinta dan rindu untuk selalu berdzikir kepada-Nya. Wallahu a’lam.*

Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !
Topik: 

Minggu, 03 Mei 2015

5 Manfaat dan Keuntungan Shalat Subuh


MASIH merasa sulit bangun shalat Subuh? Atau masih merasa seolah mengangkat beban bearat kala adzan Subuh berkumandang?
Sesungguhnya bangun sebelum Subuh itu sungguh banyak manfaatnya. Mulai dari menyiapkan diri shalat sampai kita jauh lebih bisa menata diri lebih baik di setiap awal paginya. Keren kan?
Shalat sunnah dua rakaat sebelum Subuh saja nilai pahalanya lebih baik dari dunia dan seisinya. Apalagi, shalat Shubuhnya, berjama’ah pula. Subhanallah, insya Allah pahalanya luar biasa dahsyatnya.
Aisyah Radhiyallahu Anha meriwayatkan dari Nabi, Beliau bersabda, “Dua rakaat (sebelum) fajar (shalat Subuh) lebih baik (nilainya) dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Logikanya apa, orang kaya sedunia pun, kalau tidak mendirikan shalat sunnah ini, nilainya tidak ada apa-apanya di sisi Allah. Jadi, rugi sekali.
Nah, oleh karena itu latih diri kita mulai sekarang untuk bisa bangun lebih awal, sehingga bisa shalat sunnah Fajar sekaligus Shalat Subuh berjama’ah.
Pahala Shalat Shubuh
Mungkin sudah banyak yang tahu atau setidaknya pernah mendengerkan ceramah soal pahala dari shalat Subuh. Tapi lepas dari itu semua, mari kita perhatikan saja lagi keutamaan dari shalat Shubuh dari sisi pahalanya.
“Barangsiapa yang shalat Subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya, dan akan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim).
Kemudian, dalam sabda lainnya disebutkan, “Barangsiapa yang shalat isya` berjama’ah maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya.” (HR. Muslim).
Manfaat Instan
Kalau dari tadi keutamaanya lebih pada ‘tabungan’ akhirat kita. Sekarang ayo kita lihat manfaat instan dari bangun lebih dini, yang jika dibiasakan, insya Allah akan mendatangkan keajaiban dalam diri kita sendiri.
Pertama, bisa meluangkan waktu untuk membuat planning (rencana)
Pernah nggak kita berangkat sekolah atau kuliah dengan hati yang kurang mood? Hampir pasti itu karena kita lambat bangun. Macem-macem sih sebabnya, bisa karena tidur terlalu larut, atau ada PR yang belum dikerjakan hehe.
Kedua, antusias yang tinggi
Kalau kita sudah bisa nyusun rencana,  pasti  kita akan sangat antusias dalam menjalankan tugas utama kita, entah sebagai pelajar, karyawan, pengusaha, dan lain sebagainya.
Ketiga, masih ada waktu untuk olahraga ringan
Kalau jarak kita dengan sekolah atau tempat tidak terlalu jauh, maka bangun lebih dini masih memungkinkan kita olahraga ringan. Seperti jalan-jalan, atau pun lari-lari kecil. Apalagi, kalau yang rumahnya agak jauh dari masjid, sudah pasti ibadahnya disertai olahraga, asalkan mau jalan kaki, hehe.
Keempat, selamat dari ketergesa-gesaan
Jika tiga hal di atas saja bisa kita lakukan, maka alasan apalagi yang bisa membuatmu melakukan sesuatu dengan terburu-buru? Tidak ada lagi bukan! Jadi, bangun lebih dini membuat ritme hidupmu teratur dan efektif.
Kelima, masih bisa membaca Al-Qur’an
Mengapa banyak orang yang belum bisa konsisten membaca Al-Qur’an? Satu di antara jawaban yang ada, mungkin shalat Subuhnya ketinggalan, sehingga semua serba buru-buru.
Lha, kalau sudah buru-buru, jangankan baca Al-Qur’an, peralatan yang diperlukan dan mestinya dibawa saja bisa ketinggalan.
Tetapi, dengan kita shalat Subuh, kita masih punya waktu untuk membaca atau bahkan menghafal Al-Qur’an. Wah, keren kan!
Nah, itulah sebagian dari manfaat langsung kita bangun lebih dini. Jadi, jangan sampai nggakshalat Shubuh, hanya karena tidak mau bangun lebih dini.
Ada kisah menarik. Tim Cook, CEO Apple, punya kebiasaan mengirim email kantor setiap pukul 04.30. Jack Dorsey, pendiri Twitter juga selalu memulai harinya pukul 05.30. Richard Branson, pendiri Virgin Group, bangun pukul 05.45. Artinya apa, bangun dini itu adalah awal dari kesukesan. InsyaAllah.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !
Topik: 

Sabtu, 02 Mei 2015

Jaga 3 Perkara, Hidup Anda Nikmat dan Sehat

Bahagia, iman terjaga dan badan sehat adalah dambaan kita semua [ilustrasi]
AGAMA Islam dikenal kaya dan luar biasa terhadap nilai-nilai dan ajaran. Umat Islam tidak semata diajak mengimani akhirat tetapi juga dipandu agar bahagia hidup di dunia ini dengan praktik-praktik hidup yang menyehatnya jiwa dan raga (fisik). Jika diamalkan, maka kebahagiaan masa depan –baik di dunia atau pun akhirat– insya Allah dapat diwujudkan.
Di antara ajaran Islam yang sangat penting adalah bagaimana kita harus memperhatikan tiga perkara penting dalam hidup kita. Tiga perkara itu adalah; iman, Islam dan kesehatan.
Jika ada perkara yang nilainya tiada tara dalam kehidupan dunia ini, maka itu adalah IMAN. Untuk memahami hal ini, kita bisa mengambil hikmah dari apa yang Allah gambarkan di dalam Al-Qur’an, yakni wasiat Nabi Ibrahim kepada anak keturunannya.
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إَلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. Al-Bqarah [2]: 132).
Dengan kata lain, jika ada yang harus dipegang teguh, meski harus meregang nyawa, maka itulah iman.
Mengapa? Karena tanpa iman, kebaikan yang dilakukan, sama sekali tidak akan berguna di sisi-Nya. Inilah alasan penting, mengapa kita dilarang mempersekutukan Allah.
Jadi, teruslah perhatikan iman kita, jangan sampai tergores, apalagi rusak atau patah. Karena kehilangan iman adalah kerugian tiada tara. Penulis buku La Tahzan, Aid Al-Qarni berkata, “Manakala kita berlepas diri dari Islam ini, otomatis kita telah berlepas diri dari kemuliaan, keaslian, kejayaan, dan keagungan kita.”
Setelah iman, yang harus menjadi prioritas kita adalah ISLAM. Pernahkah kita menyadari bahwa nikmat Islam ini adalah nikmat luar biasa yang langsung dari-Nya?
فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” QS. Al-An’am [6]: 125).
Akan tetapi, nikmat Islam ini jarang disadari, sehingga sedikit kurang uang, mengeluh. Sedikit sakit, galau. Sedikit diuji, gelisah.
Sementara, kala diberi kemudahan, lupa sama Allah Ta’ala. Kita mudah sekali tersadarkan oleh kurangnya nikmat material, tetapi sama sekali tidak sadar dengan dahsyatnya nikmat Islam yang telah bersarang dalam dada.
Lantas bagaimana cara memelihara keislam-an dalam diri kita?
Contoh saja Rasulullah dalam kesehariannya. Shalat tidak terlewat, baca Al-Qur’an setiap hari. Infak-sedekah, bahkan zakat tidak perlu disuruh-suruh. Berpuasa dan menunaikan haji bila mampu.
Terakhir adalah nikmat KESEHATAN. Nikmat sehat ini kadangkala tidak benar-benar dipahami sebagai hal yang sangat berharga. Padahal, tanpa sehat, iman tidak maksimal dan ke-Islam-an juga tidak akan optimal.
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim memperhatikan kesehatannya. Mulai dari kesehatan fisik sampai kesehatan hati.
Bagaimana menerapkan hidup sehat sama pentingnya dengan bagaimana terus meningkatkan iman dan taqwa. Seorang dai yang malang melintang dalam dunia dakwah pernah berbagi tips, bagaimana hidup sehat.
Pertama, milikilah pola pikir makan apa yang diperlukan. Bukan apa yang menyenangkan. Kebanyakan orang, makan hanya apa yang disenangi, sehingga kadangkala lupa dengan apa yang diperlukan. Dengan memiliki pola pikir ini, maka tidak semua jenis makanan akan dimakannya, apalagi dalam waktu bersamaan.
Kedua, makanlah secukupnya. Makan secukupnya ini, menurut penuturan dai tersebut terinspirasi dari Kitab Misykat karya Imam Ghazali. Di sana disebutkan bahwa ada sahabat Nabi yang sehari sekali makan. Ada yang tiga hari sekali makan, ada yang sepekan sekali makan bahkan ada yang 40 hari sekali makan. “Wajar kalau Nabi dan para sahabat, rata-rata hidupnya sehat,” ucapnya.
Ketiga, ini yang sangat penting, jangan makan kecuali yang halal. Rizki itu sudah ditetapkan oleh Allah. Jadi tidak mungkin kurang, salah apalagi tertukar. Maka jangan sampai hanya karena urusan rizki (makanan) kita sampai menabrak-nabrak syariat Allah, hingga tidak peduli lagi halal-haram.
Keempat, bergeraklah. Setelah makan, orang zaman sekarang banyak yang diam bahkan tidur. Coba kita perhatikan bagaimana Rasulullah mengisi hari-harinya, tidak ada itu beliau malas apalagi banyak tidur. Kalau tidak jalan ya harus lari, intinya harus ada gerak.
Kelima, shalat. Shalat itu tidak semata ibadah, ia gerakan fisik. Kalau Rasulullah shalat, itu bisa sampai bengkak-bengkak. Artinya apa, kesehatan fisik yang menyatu dengan jiwa itu ada pada sholat. Jangan dibalik, zaman sekarang banyak orang cidera karena olahraga, sementara sholat kurang diperhatikan.
Dengan memperhatikan tiga perkara ini, harapannya, kita bisa dijadikan seperti Rasulullah yang tidak sakit sepanjang hidupnya melainkan hanya dua kali. Sebab, dengan senantiasa sehat, maka kita bisa produktif dalam amaal sholeh dan tentu saja tidak banyak membuah waktu, energi dan biaya untuk pengobatan.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !
Topik: 

Senin, 27 April 2015

Jaringan Ulama Asia dan Pentingnya Pemetaan Dakwah

Agar peran ulama dapat maksimal penting menganalisa masalah keumatan, lalu pemetaan, dan penyusunan target
Oleh: Ilham Kadir
KEDUDUKAN ilmu dalam agama Islam sangat istimewa, karena segenap sendi kehidupan umat manusia tidak akan bergerak tanpa ilmu. Bahkan Allah mengutus para nabi untuk mengajarkan ilmu kepada para kaumnya. Dan jika menarik tali sejarah jauh ke belakang, tepatnya ketika Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, dan terjadi perdebatan sengit antara malaikat dan Allah yang telah menyampaikan pemberitahuan bahwa Dia akan menciptakan makhluk bernama manusia.
Malaikat tidak setuju, karena dikhawatirkan jika makhluk yang kemudian disebut ‘manusia’ itu tercipta, hanya akan mengerjakan kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah. Namun Allah selaku pencipta manusia, malaikat, langit dan segenap isinya Maha Tahu, bahwa selain mendatangkan keburukan sebagaimana dikhawatirkan para malaikat, manusia juga adalah jenis makhluk yang akan membawa kemaslahatan, dengan syarat ia harus berilmu.
Singkat kata, manusia pertama diciptakan, namanya Adam, langsung dibekali dengan ilmu, dan menjadi guru kepada para malaikat. Lalu, para murid Nabi Adam itu, diperintahkan oleh Allah untuk bersujud pada gurunya sebagai tanda penghormatan dan pernghargaan akan ketinggian ilmunya. Semua bersujud, kecuali iblis yang enggan bahkan sombong, angkuh bin takabbur (aba wastakbara). Karena menentang perintah Allah dan menantang Nabi Adam, maka iblis pun dikutuk hingga hari kiamat, dan kelak akan dijebloskan ke penjara neraka untuk selamanya. Kisah ini, diulang-ulang dalam Al-Qur’an, misalnya Al-Baqarah: 30-38. Setelah Nabi Adam wafat, dan keturunnya kian hari kian bertambah dan bertaburan, maka Allah kembali mengutus rasul demi rasul untuk mengajak dan mengajar kepada kaumnya tatacara hidup dan beribadah dengan baik dan benar yang berlandaskan ilmu.
Hingga rasul pamungkas tiba yaitu, Muhammad SAW yang membawa ajaran dan agama Islam yang tertuang dalam wahyu, berupa Al-Qur’an dan hadis.
Jika umat-umat terdahulu, selalu dimanjakan dengan diutusnya para nabi dan rasul, maka, umat Nabi Muhammad tidak demikian. Setelah sang Rasul pamungkas tutup usia, ajarannya harus terus terjaga dengan adanya kitab wahyu dan manusia-manusia yang mengabdi dan mewakafkan diri untuk mempelajari, mengamalkan, dan mengajarkan warisan Rasulullah tersebut: Al-Qur’an dan hadis. Golongan inilah yang disebut “ulama”.
Jika umat terdahulu, nabinya wafat, maka ilmu pun ikut tercabut. Tapi, bagi umat Islam, ketika Nabi wafat ilmu tetap terjaga di kalangan para ulama. Namun perlu dicatat, ulama tidaklah wujud sebagaimana wujudnya para nabi dan rasul yang diutus langsung oleh Allah. Menjadi ulama adalah sebuah proses yang berliku dan penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Karena itu, Allah sangat mengapresiasi golongan manusia yang berangkat berjuang demi meraih ilmu agar dapat menjadi ulama.
Dari Abu Darda’ sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi, Nabi bersabda, Barangsiapa melalui suatu jalan yang di dalamnya terdapat ilmu, maka Allah akan membukakan jalan menuju surga. Dan sungguh, para malaikat meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai bentuk keridhahannya atas apa yang diperbuat, dan seluruh penduduk langit dan bumi meminta ampun bagi orang yang berilmu. Bahkan ikan-ikan di air melakukan hal yang sama, dan keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham [uang] mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.
Peran Ulama di era globalisasi dan penuh dengan tantangan, peran strategis ulama sangat dibutuhkan. Betapa tidak, informasi yang telah menggelobal menjadikan manusia modern hidup tanpa sekat. Apa yang terjadi di belahan Barat nun jauh di sana, dengan mudah dapat disaksikan dimana pun. Bahkan ragam ideologi lintas organisasi, agama, dan bangsa dengan mudah terpasarkan.
Masalah kemudian muncul, bahwa apa yang terjadi di Barat dalam artian bukan sekadar arah mata angin tetapi meliputi segala sendi, termasuk ideologi, budaya, ekonomi, dan tatanan hidupnya, banyak yang tidak sesuai bahkan berbenturan dengan apa yang ada di belahan Timur yang kental dengan nuansa religi, dalam hal ini Islam sebagai agama dominan. Globalisasi akan mendudukkan Barat yang dalam Istilah Huntington “The Clash of Civilization”atau benturan peradaban.
Ulama harus mengambil peran, khusunya dalam ranah pengajaran dan penyadaran ‘tarbiyah wa tauiyyah’ kepada umat agar ke dalam menyadari pentingnya memperkuat landasan agama terutama akidah sedangkan ke luar melawan segala bentuk gelombang globalisasi yang berbenturan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Peta Perjuangan
Agar peran ulama dapat maksimal dan tertata rapi, maka hal penting yang harus dilakukan adalah menganalisa masalah keumatan, lalu pemetaan, dan penyusunan target agar dapat mencapai tujuan dan sasaran secara tepat.
Selama ini, para ulama masih jalan sendiri-sendiri dan hasilnya pun dinikmati sendiri-sendiri. Masih sama-sama bekerja, belum ada kerjasama yang solid. Dapat disaksikan sekarang, umat ibarat anak ayam kehilangan induk yang para induk sibuk mengurus diri sendiri.
Adanya kesadaran bersama di waktu yang sama, dan geografi tertentu, akan melahirkan kesolidan antarsesama sehingga program-program pemberdayaan umat akan terlaksana secara rapi dan terorganisir. Kebatilan saja, jika dikoordinir dengan baik akan mengalahkan kebenaran yang kocar-kacir, al-haqqu bila nizham yaghlibuhul al-bathil bin-nizham.
Saat ini, pimpinan umum Wahdah Islamiyah (WI) yang berpusat di Makassar, bersama sejumlah tokoh Islam dalam negeri dan manca negara menginisiasi pembentukan Ikatan Ulama dan Duat Se-Asia Tenggara/ Rabithah Ulama wa Du’at Janub Syarqi Asia.
Pembentukan Ikatan ini dimaksudkan sebagai wadah konsolidasi dan koordinasi antar ulama dan duat se- ASEAN, yang akan diawali dengan Deklarasi dan Muktamar I, pada Sabtu (28-29/11/2014) di Depok Jawa Barat.
Deklarasi sekaligus Muktamar Ikatan Ulama dan Duat se-Asia Tenggara ini untuk menegaskan eksistensi keteladanan ulama Islam serta sebagai wadah konsolidasi para ulama dan Duat. Dipertegas dengan seminar internasional dengan tema, Membangun Peradaban Asia Tenggara dengan Prinsip Moderat Islam (al-Wasatiyyah).
Kita sangat berharap, agar para ulama memiliki andil dalam membangun umat dan bangsa. Menjadi pionner dalam mereduksi kebatilan dan menegakkan kebenaran, termasuk menjadi rujukan para pemimpin dalam membuat keputusan. Ulama jenis inilah yang disebut suluh penerang dalam kegelapan.
Mari kita renungkan perkataan Imam Al-Gazali, Fasadul umara bifasadil ulama. Rusaknya para pemimpin dimulai dengan kerusakan para ulama. Jika para ulama berlomba-lomba ke kota untuk menjilat kekuasaan demi menumpuk-numpuk harta, di saat yang sama para penyesat umat dari pendeta dan golongan sesat berbondong-bondong ke kampung untuk menyesatkan umat, maka kehancuran hanya menunggu waktu. Wallahu A’lam!
Pengurus KPPSI Pusat/ Ketua Lembaga Penelitian MIUMI Sulsel

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !
Topik: 

Minggu, 26 April 2015

Tim Posdai Sampaikan Keutamaan Dakwah di STIE TAZKIA

Hidayatullah.com–Dakwah adalah aktifitas yang mulia, utama, dan tak ada matinya. Sebab, sejatinya, inilah pekerjaan prioritas yang hendaknya dilakukan oleh umat Islam. Yakni aktifitas mentransformasikan nilai dan ajaran Islam kepada segenap umat manusia agar mereka menemukan kebenaran dan mendapatkan pencerahan.
Demikianlah benang merah dari penyampaian materi yang disampaikan oleh tim Posdai saat mengisi acara Training for Trainers: Change Maker Da’i “Peace for Sentul City” yang digelar di Kampus Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia (STIE TAZKIA), Sentul, Bogor, Rabu (24/12/2014).
Acara ini digelar oleh STEI Tazkia bekerjasama dengan Posdai Hidayatullah dan Abqory Super Youth Tazkia @asy_EO guna untuk membekali mahasiswa dan juga masyarakat umum tentang keutamaan menjadi dai dan kemuliaan dakwah.
Pada kesempatan kegiatan yang dihadiri puluhan peserta berlangsung di Gedung Al Hambra tersebut, Posdai Hidayatullah mendapatkan kesempatan mengisi acara sepenuhnya dengan menghadirkan 3 orang narasumber. Mereka adalah Ustadz Asep Supriatna yang membawakan materi Prinsip Dasar Dakwah, Ustadz Agung Trana Jayal Lc, yang memaparkan materi Fiqih Ikhtilaf, dan Ustadz Samani Raharjo yang mengulas masalah missionari, kristenisasi, dan kiat-kiat mengadapi dan pencegahannya.
Ustadz Asep dalam pemaparannya, menjelaskan bahwa dalam setiap dakwah yang dilakukannya, Rasulullah mempunyai konsep baku mengenai prinsip dan metodenya. Sehingga, terangnya, dakwah tidak boleh dilakukan serampangan apalagi langsung frontal. Setiap dai harus memahami prinsip dasar ini.
Mengutip Surah Al Qur’an pada ayat 159 surah Ali Imron, Ustadz Asep mengingatkan setidaknya seorang dai harus memiliki 3 prinsip dasar dalam melakukan dakwah sebagaimana diperintahan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Mengacu dari ayat metode dasar dakwah di atas, maka, terang Asep, hendaknya para dai harus memahami tiga hal yang menjadi prinsip dan metode yang ditempuh Nabi dalam berdakwah, yaitu kelemahlembutan, pemaaf, dan bermusyawarah.
“Prinsip dasar ini hendaknya menjadi acuan utama kita dalam membina umat dan melakukan dakwah kepada level tertentu di masyarakat kita. Kedepankan kasih sayang, kesantunan, dan kelapangan hati,” pesannya.
Pada sesi lainnya, Ustadz Agung Trana Jaya yang menyampaikan tema Fiqih Ikhtilath, melontarkan pentingnya memahami fiqih dakwah dan ikhtilath ini.
Kata beliau, fiqih iklhlitah adalag sebuah metode untuk memahami berbagai perbedaan fiqh yang terdapat di masyarakat. Dengab memahami fiqih ikhtilkaf, seorang dai dapat melakukan pendektan dakwah di tengah masyarakat sehingga dakwahnya bisa diterima.
Diterangkan Ustadz Agung, tidak saja dai yang butuh memahami fiqih ikhtilaf ini namun sebaiknya ummat Islam hendaknya memahami perbedaan pendapat yang muncul agar perbedaan yang bersifat khilafiah tak melulu melahirkan perselisihan.
Karenanya, ia juga mengingatkan bahwa untuk menjadi seorang dai harus memahami betul fiqih ikhtilaf agar benar-benar dapat menjalankan fungsi dengan semestinya. Sebab, sasaran kerja para dai dan aktivis Islam adalah persatuan, kekompakan, kerapihan, dan kekokohan barisan umat Islam.
“Untuk itu, mari kita berbesar hati selalu dalam melihat perbedaan yang ada dalam umat ini selama itu tidak keluar dari koridor Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah,” tukasnya.
Sementara itu Samani yang mengisi tema tentang gerakan missionaris dan kristenisasi di penghujung sesi, memaparkan fakta-fakta gerakan missionaris yang menyasar umat Islam, khususnya kalangan awam, miskin, dan terpencil.
Samani mengungkapkan, sejatinya telah ada sejak lama peraturan yang melarang penyiaran agama kepada warga negara Indonesia yang telah beragama sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Agama nomor 70 tahun 1978. Namun rupanya peraturan ini tak indahkan oleh penganut agama tertentu.
Salah satu contohnya, Samani menyodorkan fakta terbaru bagaimana gencarnya aksi missionaris yang menyasar umat Islam ini. Yakni aksi lapangan yang dilakukan oleh penganut agama tertentu dalam sebuah Car Free Day di jantung pusat kota Jakarta. Seorang ibu yang jelas-jelas berjilbab “dipaksa” untuk membenarkan keimanan mereka. Aksi ini terekam sangat jelas oleh kamera wartawan.
“Kita tidak bisa lagi diam, kita harus bangun dan sadar bahwa aksi missionaris yang menyasar saudara-saudara muslim kita terus berlangsung. Tentu kita tidak rela mereka dimurtadkan hanya karena kurangnya perhatian kita,” imbuhnya.
Karenanya, Samani meminta dukungan peserta yang hadir untuk aktif berdakwah di mana saja dalam membimbing serta membina masyarakat Muslim yang masih awam dengan agama mereka. Jika itu tidak mampu juga dilakukan, maka berikanlah dukungan kepada para dai yang tengah berjibaku dengan para missionaris yang umumnya berfasilitas lengkap lagi elit.
“Sesibuk apapun, mari terus berdakwah tanpa harus ke medan dakwah. Mari kita membersamai kerja mulia para dai di medan dakwah dengan doa kita, cinta kita, dan tentu, donasi kita,” tukas Samani seraya memungkasi pemaparannya.*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Sabtu, 25 April 2015

Anak Hafal Al Fatihah, Abu Hanifah Beri Guru Ngaji 1000 Dirham

IMAM Abu Hanifah mengundang seorang guru untuk mengajari putranya menghafal Al Qur`an. Maka tatkala sang putra berhasil menghafal Al Fatihah Imam Abu Hanifah memberikan kepada guru itu 1000 dirham.
“Anda menganggap sepele apa yang telah Anda ajarkan kepada anak saya, kalau seandainya aku memiliki lebih banyak dari itu maka aku akan memberikan kepada Anda sebagai bentuk pengagungan saya terhadap Al Qur`an”, kata Imam Abu Hanifah.
“Saya belum melakukan apa-apa, sehingga Anda perlu memberikan harta ini”, jawab sang guru takjub. (Manaqib Al Imam Al Adzam li Al Qurdi, 1/253)
Rep: Sholah Salim
Editor: Cholis Akbar
Dikutip dari : hidayatullah.com

Jumat, 24 April 2015

Jangan Remehkan Dakwah Kepada Anak

ilustrasi
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
JANGAN remehkan dakwah kepada anak-anak! Jika telah terikat hatinya dengan Islam, mereka akan mudah bersungguh-sungguh menetapi agama ini setelah dewasa. Jika engkau gembleng mereka untuk siap menghadapi kesulitan, maka kelak mereka tak mudah ambruk hanya karena langkah mereka terhalang oleh kendala-kendala yang menghadang. Tetapi jika engkau salah membekali, mereka akan menjadi beban bagi ummat ini di masa yang akan datang. Cemerlangnya otak sama sekali tidak memberi keuntungan jika hati telah beku dan kesediaan untuk berpayah-payah telah runtuh.
Maka, ketika engkau mengurusi anak-anak di sekolah, ingatlah sejenak. Tugas utamamu bukan sekedar mengajari mereka berhitung. Bukan! Engkau sedang berdakwah. Sedang mempersiapkan generasi yang akan mengurusi umat ini 30 tahun mendatang. Dan ini pekerjaan sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan berusaha, niat yang lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti.
Karenanya, jangan pernah main-main dalam urusan ini. Apa pun yang engkau lakukan terhadap mereka di kelas, ingatlah akibatnya bagi dakwah ini 30 40 tahun yang akan datang. Jika mereka engkau ajari curang dalam mengerjakan soal saja, sesungguhnya urusannya bukan hanya soal bagaimana agar mereka lulus ujian. Bukan. Yang terjadi justru sebaliknya, masa depan umat sedang engkau pertaruhkan!!! Tidakkah engkau ingat bahwa induk segala dusta adalah ringannya lisan untuk berdusta dan tiadanya beban pada jiwa untuk melakukan kebohongan.
Maka, ketika mutu pendidikan anak-anak kita sangat menyedihkan, urusannya bukan sekedar masa depan sekolahmu. Bukan. Sekolah ambruk bukan berita paling menyedihkan, meskipun ini sama sekali tidak kita inginkan. Yang amat perlu kita khawatiri justru lemahnya generasi yang bertanggung-jawab menegakkan dien ini 30 tahun mendatang. Apa yang akan terjadi pada umat ini jika anak-anak kita tak memiliki kecakapan berpikir, kesungguhan berjuang dan ketulusan dalam beramal?
Maka…, ketika engkau bersibuk dengan cara instant agar mereka tampak mengesankan, sungguh urusannya bukan untuk tepuk tangan saat ini. Bukan pula demi piala-piala yang tersusun rapi. Urusannya adalah tentang rapuhnya generasi Muslim yang harus mengurusi umat ini di zaman yang bukan zamanmu. Kitalah yang bertanggung-jawab terhadap kuat atau lemahnya mereka di zaman yang boleh jadi kita semua sudah tiada.
Hari ini, ketika di banyak tempat, kemampuan guru-guru kita sangat menyedihkan, sungguh yang paling mengkhawatirkan adalah masa depan umat ini. Maka, keharusan untuk belajar bagimu, wahai Para Guru, bukan semata urusan akreditasi. Apalagi sekedar untuk lolos sertifikasi. Yang harus engkau ingat adalah: “Ini urusan umat. Urusan dakwah.” Jika orang-orang yang sudah setengah baya atau bahkan telah tua, sulit sekali menerima kebenaran, sesungguhnya ini bermula dari lemahnya dakwah terhadap mereka ketika masih belia; ketika masih kanak-kanak. Mereka mungkin cerdas, tapi adab dan iman tak terbangun. Maka, kecerdasan itu bukan menjadi kebaikan, justru menjadi penyulit bagi mereka untuk menegakkan dien.
Wahai Para Guru, belajarlah dengan sungguh-sungguh bagaimana mendidik siswamu. Engkau belajar bukan untuk memenuhi standar dinas pendidikan. Engkau belajar dengan sangat serius sebagai ibadah agar memiliki kepatutan menjadi pendidik bagi anak-anak kaum Muslimin. Takutlah engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, jika engkau menerima amanah sebagai guru, sedangkan engkau tak memiliki kepatutan, maka engkau sedang membuat kerusakan.
Sungguh, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah saatnya (kehancuran) tiba.
Ingatlah hadis Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,” Dia (Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Beliau menjawab, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!”(HR. Bukhari).
Maka, keharusan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan serius bukanlah dalam rangka memenuhi persyaratan formal semata-mata. Jauh lebih penting dari itu adalah agar engkau memiliki kepatutan menurut dien ini sebagai seorang guru. Sungguh, kelak engkau akan ditanya atas amanah yang engkau emban saat ini.
Wahai Para Guru, singkirkanlah tepuk tangan yang bergemuruh. Hadapkan wajahmu pada tugas amat besar untuk menyiapkan generasi ini agar mampu memikul amanah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. Sungguh, kelak engkau akan ditanya di Yaumil-Qiyamah atas urusanmu.
Jika kelak tiba masanya sekolah tempatmu mengajar dielu-elukan orang sehingga mereka datang berbondong-bondong membawa anaknya agar engkau semaikan iman di dada mereka, inilah saatnya engkau perbanyak istighfar. Bukan sibuk menebar kabar tentang betapa besar nama sekolahmu. Inilah saatnya engkau sucikan nama Allah Ta’ala seraya senantiasa berbenah menata niat dan menelisik kesalahan diri kalau-kalau ada yang menyimpang dari tuntunan-Nya. Semakin namamu ditinggikan, semakin perlu engkau perbanyak memohon ampunan Allah ‘Azza wa Jalla.
Wahai Para Guru, sesungguhnya jika sekolahmu terpuruk, yang paling perlu engkau tangisi bukanlah berkurangnya jumlah siswa yang mungkin akan terjadi. Ada yang lebih perlu engkau tangisi dengan kesedihan yang sangat mendalam. Tentang masa depan ummat ini; tentang kelangsungan dakwah ini, di masa ketika kita mungkin telah tua renta atau bahkan sudah terkubur dalam tanah.
Ajarilah anak didikmu untuk mengenali kebenaran sebelum mengajarkan kepada mereka berbagai pengetahuan. Asahlah kepekaan mereka terhadap kebenaran dan cepat mengenali kebatilan. Tumbuhkan pada diri mereka keyakinan bahwa Al-Qur’an pasti benar, tak ada keraguan di dalamnya. Tanamkan adab dalam diri mereka. Tumbuhkan pula dalam diri mereka keyakinan dan kecintaan terhadap As-Sunnah Ash-Shahihah. Bukan menyibukkan mereka dengan kebanggaan atas dunia yang ada dalam genggaman mereka.
Ini juga berlaku bagi kita.
Ingatlah do’a yang kita panjatkan:
“اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ”
“Ya Allah, tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami rezeki kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil, serta limpahilah kami rezeki untuk mampu menjauhinya.”
Inilah do’a yang sekaligus mengajarkan kepada kita agar tidak tertipu oleh persepsi kita. Sesungguhnya kebenaran tidak berubah menjadi kebatilan hanya karena kita mempersepsikan sebagai perkara yang keliru. Demikian pula kebatilan, tak berubah hakekatnya menjadi kebaikan dan kebenaran karena kita memilih untuk melihat segi positifnya. Maka, kepada Allah Ta’ala kita senantiasa memohon perlindungan dari tertipu oleh persepsi sendiri.
Pelajarilah dengan sungguh-sungguh apa yang benar; apa yang haq, lebih dulu dan lebih sungguh-sungguh daripada tentang apa yang efektif. Dahulukanlah mempelajari apa yang tepat daripada apa yang memikat. Prioritaskan mempelajari apa yang benar daripada apa yang penuh gebyar. Utamakan mempelajari hal yang benar dalam mendidik daripada sekedar yang membuat sekolahmu tampak besar bertabur gelar. Sungguh, jika engkau mendahulukan apa yang engkau anggap mudah menjadikan anak hebat sebelum memahami betul apa yang benar, sangat mudah bagimu tergelincir tanpa engkau menyadari. Anak tampaknya berbinar-binar sangat mengikuti pelajaran, tetapi mereka hanya tertarik kepada caramu mengajar, tapi mereka tak tertarik belajar, tak tertarik pula menetapi kebenaran.
 ***
 Jangan sepelekan dakwah terhadap anak! Kesalahan mendidik terhadap anak kecil, tak mudah kelihatan. Tetapi kita akan menuai akibatnya ketika mereka dewasa. Betapa banyak yang keliru menilai. Masa kanak-kanak kita biarkan direnggut TV dan tontonan karena menganggap mendidik anak yang lebih besar dan lebih-lebih orang dewasa, jauh lebih sulit dibanding mendidik anak kecil. Padahal sulitnya melunakkan hati orang dewasa justru bersebab terabaikannya dakwah kepada mereka di saat belia.
Wallahu a’lam bish-shawab. Kepada Allah Ta’ala kita memohon pertolongan. Maafkan saya.*
Mohammad Fauzil Adhim adalah penulis buku-buku parenting. Twitter @kupinang
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Kamis, 23 April 2015

Dakwah Situs Islam dan Cita-Cita Pendiri Negara [2]

Para guru di sebuah sekolah di Surabaya gembira bisa membuka kembali situs hidayatullah.com
Oleh: Kholili Hasib
Sambungan dari artikel PERTAMA
JENDERAL Abdul Haris (AH) Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30).
Prof. Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’ (Prof. Hazairin,Demokrasi Pancasila, hal. 31).
Pendapat tersebut juga pernah diputuskan oleh ulama NU dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo Jawa Timur tanggal 21 Desember 1983. Di antara keputusan Munas tersebut adalah, (1) Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimaman dalam Islam.
Maka, KH. Wahid Hasyim pada saat pembahasan rancangan UUD 1945, pada pasal 2 ayat 4 agar Presiden adalah orang Indonesia asli yang Muslim. Kalimat yang diusulkan berbunyi : “Yang Menjadi Presiden dan wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam” (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 33). Usulan kiai NU ini satu nafas dengan asas negara yang berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Artinya, sesunggunya para pendiri negara Indonesia bersepakat bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan kepada keimanan tauhid. Bukan negara netral-agama.
Tafsir Asli Pancasila
Dr Adian Husaini berpendapat, para perumus dasar negara bermaksud memasukkan konsep-konsep kunci Islam ke dalam Pancasila. Sehingga, menurutnya, penafsiran Pancasila yang paling tepat adalah berdasarkan tauhid Islam, bukan sebebasnya apalagi atas dasar tafsir sekuler.
Cukup menarik pendapat M. Natsir yang mengatakan; “Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukan berarti Islam”. Artinya, Pancasila tidak-lah mewakili seluruh ajaran Islam. Tetapi Pancasil, dapat sesuai dengan tujuan pendiri bangsa, sehingga dibingkai dengan tauhid.
Berdasarkan hal itu, ajaran tauhid Islam bisa diterapkan dalam bidang kenegaraan. Keinginginan agar pemimpin Indonesia sesuai dengan Islam, adalah sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa, legal dan sesuai undang-undang dasar. [Baca: Menjernihkan Tafsir Pancasila]
Sudah sepatutnya, negara ini siap untuk tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam. Konsep ketauhidan ini merupakan konsep yang ideal bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim.
Segala bentuk kesyirikan, kesesatan dan pengebirian terhadap ajaran agama layak diberi tindakan. Karena tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. UU. No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, merupakan produk undang-undang yang semestinya ditegakkan dengan tegas oleh para negarawan. Karena UU tersebut merupakan amanah pendiri bangsa, agar Indonesia tetap bertauhid, bebas dari faham anti-agama.
Inilah cara para pendiri bangsa agar karakter bangsa tidak ditelan oleh imperialisme baru. Seperti ungkapan KH. Muhammad Isa Anshori;
“Pancasila harus hidup dengan teman-temannya sila yang lain, seribu satu sila yang tersebar dalam lembaran ajaran Islam. Bila Pancasila tidak dijaga dengan cara seperti itu, maka akan ditelan oleh imperialisme dan komunisme.”
Dengan itu, amanah besar yang harus diusung kembali oleh generasi kita sekarang adalah, menjadikan Indonesia lebih beradab.  Kaum Muslimin harus didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Taat dan tidak anti-agama. Terkait dengan amanah bangsa ini, Adian Husiani, pernah mengusulkan agar Presiden mengeluarkan Kepres ‘Iman dan Takwa’ dalam pendidikan sebagai penjabaran tujuan pendidikan Nasional sebagaimana termaktub dalam Sisdiknas dan UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan tinggi.
Karena itu, bangsa Indonesia hendaknya mewaspadai upaya-upaya untuk membecah belah bangsa dan usaha menjauhkan warga negara dari berketuhanan.
Situs-situs dakwah Islam sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD ’45 sehingga tidak perlu dicurigai. Pemblokiran tanpa alasan justru menimbulkan permusuhan elemen bangsa. Adu domba kaum Muslim dengan pemerintah juga dengan masyarakat harus dihentikan. Semua harus kembali kepada tafsir Pancasila yang asli, dimana negara ini taat pada Tuhan, bukan anti-Tuhan dan anti-Islam.*
Penulis adalah pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Rabu, 22 April 2015

Dakwah Situs Islam dan Cita-Cita Pendiri Negara [1]

Media-media Islam yang konten dan isinya selama ini mengajak remaja, masyarakat menjauhkan dari hal-hal yang terlarang yang justru harus dirangkul pemerintah, bukan dihalang-halangi.
Para guru di sebuah sekolah di Surabaya gembira bisa membuka kembali situs hidayatullah.com

Oleh: Kholili Hasib
PEMERINTAH akhirnya melakukan normalisasi terhadap situs-situs media Islam yang sempat dicurigai berbahaya.  Hampir sepekan kasus ini menyita perhatian publik, khususnya kaum Muslim Indonesia.
Sebelumnya,  sempat ada suara-suara yang mendukung penutupan 19 situs Islam dengan beralasan bahwa situs media Islam itu bertentangan dengan Pancasila serta membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja tuduhan tersebut berlebihan.
Salah satu portal berita Islam hidayatullah.commisalnya, telah beroperasi selama 19 tahun, ikuti mengiri pergantian banyak pemimpin Indonesia. Dari masa kepeimpinan Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati,  Susilo B Yudhoyono tidak pernah memiliki masalah apapun dengan pemerintah.  Baru beberapa saat kepemimpinan Indonesia dipegang Presiden Joko Widodo, situs ini dipermasalahkan.
Tidak bisa dipungkiri, memang terdapat situs yang menggerakkan ajaran yang oleh pemerintah disebut ‘radikal’. Namun menggeneralisir situs Islam yang tidak terindikasi radikal adalah aksi berlebihan, bahkan membahayakan. Bisa jadi mengadu domba antar elemen masyarakat.
Pemerintah haruslah bersikap adil dan bijak. Prosedur pemblokiran harus dibuktikan di pengadilan terlebih dahulu.
Sepengetahuan saya, situs Islam yang tidak  terbukti menggerakkan radikalisme justru bermanfaat untuk bangsa Indonesia, bahkan banyak membantu pemerintah, utamanya terkait dengan Islam di Indonesia.
Karena selama ini mereka memberi perimbangan informasi. Media Islam mengajak kaum Muslim untuk menjadi warga negara yang taat kepada Tuhan, menjadi Muslim yang baik.
Harusnya itu menjadi hal baik bagi pemerintah dibanding pemerintah menghabiskan uang Negara untuk mengembalikan warga yang terpengaruh narkotika dan obat terlarang (Narkoba), karena aliran sesat dan masyarakat yang tersangkut dengan aksi kejahatan dan pornografi.
Belum lama ini Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa kembali menegaskan bahwa saat ini Indonesia sudah masuk darurat pornografi lantaran biaya untuk belanja pornografi sepanjang 2014 diperkirakan mencapai Rp 50 triliun.
Sementara untuk kasus narkotika dan obat terlarang (Narkoba), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Anang Iskandar belum lama ini mengatakan, biayanya rehabilitasi pecandu Narkoba minimal Rp 2.1 juta per bulan perorang.
Padahal, ada sekitar 27 ribu pecandu narkotika yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sementara tempat rehabilitasi yang dimiliki BNN jumlahnya terbatas dan hanya mampu menampung 2 ribu orang per tahunnya. [Baca: Selamatkan Remaja Kita Dari ‘Terorisme” Moral]
Berapa uang Negara harus dihabiskan pemerintah mengembalikan mereka menjadi normal?  Seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah.
Media-media Islam yang konten dan isinya selama ini mengajak remaja, masyarakat menjauhkan dari hal-hal yang terlarang yang justru harus dirangkul pemerintah, bukan dihalang-halangi.
Umat Islam dan Pendiri Bangsa
Sebagaimana sila pertama kita, Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI) dibangun oleh para pejuang Islam dengan cita-cita membangun bangsa yang berketuhanan. Kita harus membaca sejarah pendirian bangsa ini.
Ketika pertama kali dirancang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers), karakter negara yang diinginkan adalah sebuah ‘Negara berketuhanan, berkeadilan dan bermartabat’.  BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) – sebuah panitia kecil  yang bertugas menyiapkan asas-asas kenegaraan pada tanggal 22 Juni 1945, bersepakat atas klausul bersama bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan”.
Panitia yang beranggotakan sembilan orang; Soekarno, Mohammad Hatta, AA. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Achmad Subarjo, KH. Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin, berdebat sangat sengit dan melelahkan. Namun, akhirnya berhasil merumuskan klausul sangat penting dalam bentuk Pancasila dan UUD’45, sebagai dasar dalam menjalankan negara Indonesia.
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Klausul negara berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid ini tidak berlebihan. Sebab, kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai berkat jasa besar para ulama, santri dan kaum Muslimin, berperang melawan penjajah.
Di Aceh, para ulama terlibat Perang Sabil tahun 1873-1904. Di Jawa Jimur, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk merebut kota Surabaya pada 23 Oktober tahun 1945.
Dalam tiap tahap-tahap perjuangan bangsa, selalu ada peran ulama. Sebelum memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno di Cianjur menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan (Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah).* (Bersambung).. kembali pada Tafsir Pancasila yang Asli….
Penulis adalah pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !